Selasa, 17 April 2012

Cerita sangat pendek
Menunggu Pertanda

Angin menderu. Tapi loncengku tak berbunyi  jua. Tak apa. Suatu saat pasti akan berdentang. Dan aku akan memperoleh keberanianku kembali.
Seminggu sudah. Kemarin badai menerpa, tapi loncengku tetap membisu. Mungkin hari ini akan kudengar dentingannya.
Sebulan, dua bulan. Kuhabiskan waktu duduk termenung, menatap lonceng keemasan itu. Aku hafal semua detailnya. Tulisan kanji yang tak kutahu maknanya tapi aku tahu cara menuliskannya. Retakan kecil di bawahnya. Tali yang mulai tersaput debu.
Tepat setahun. Lonceng akhirnya mengeluarkan suara! Jernih dan menggema di lorong hati.
Masih berdentang. Aku berdiri dan tertawa. Ini pertanda yang aku tunggu! Aku akan melakukannya! Mengatakan pada Evan bahwa hatiku masih miliknya!
Bel rumah berdenting, membuatku terlonjak. Jantungku berdegub.
“Evan?” tanyaku seakan tak percaya. Ia terlihat lebih tampan. Wajahnya berseri. Aku ingin kembali padanya. Semua akan baik-baik saja. Masa lalu hanya kenangan.
“Apa kabar Nila?” sahutnya ramah. Tanganya mengangsurkan amplop berwarna hijau muda. Undangan pernikahan yang merobek anganku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar